Senin, 27 Juli 2009

Memahami Takdir Ilahi

*Beriman kepada Takdir*
Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah *Ta’ala*, salah satu rukun
iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik
maupun buruk.
Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan :

[1] Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di
antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui
(diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
[2] Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
[3] Mengimani *masyi’ah* (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi
adalah karena kehendak-Nya.
[4] Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah
Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk juga amalan
manusia.

Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah
*Ta’ala*(yang artinya),”
*Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
sajayang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian
ituterdapat dalam sebuah kitab(Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang
demikian itu amat mudah bagi Allah.
*” (QS. Al Hajj [22] : 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas
adalah firman Allah (yang artinya),”*Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.*”
(QS. At Takwir [81] : 29). Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya
adalah firman Allah (yang artinya),”*Allah menciptakan kamu dan apa saja
yang kamu perbuat.”* (QS. Ash-Shaffaat [37] : 96). Pada ayat ‘*Wa ma
ta'malun’* (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan
manusia adalah ciptaan Allah.
* *
*Macam-macam Takdir*
Takdir itu ada 2 macam :

*[1] Takdir umum mencakup segala yang ada*. Takdir ini dicatat di Lauhul
Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat.
Takdir ini umum bagi seluruh makhluk. Rasulullah *shallallahu ‘alaihi wa
sallam* bersabda,”*Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah
qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut,“Tulislah”. Kemudian
qalam berkata,“Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah
berfirman,“Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.*”
(HR. Abu Daud. Dikatakan *shohih* oleh Syaikh Al Albani dalam *Shohih wa
Dho’if Sunan Abi Daud*).
*[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum*. Takdir ini
terdiri dari :
*(a) Takdir ‘Umri* yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu
Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan
ditetapkan mengenai 4 hal : (1) rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara
atau berbahagia.
*(b) Takdir Tahunan* yaitu takdir yang ditetapkan pada malam *lailatul qadar
* mengenai kejadian dalam setahun. Allah *Ta’ala* berfirman (yang artinya),”
*Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah*.” (QS. Ad Dukhan
[44] : 4). Ibnu Abbas mengatakan,”Pada malam lailatul qadar, ditulis
pada *ummul
kitab* segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.”
(Lihat *Ma’alimut Tanzil*, Tafsir Al Baghowi)
Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini.
Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak
beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu rukun
iman yang wajib diimani.

*Salah dalam Menyikapi Takdir *
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang
terlalu berlebihan dalam menetapkannya.

Yang pertama ini dikenal dengan *Qodariyyah* . Dan di dalamnya ada dua
kelompok lagi. Kelompok pertama adalah yang paling ekstrim. Mereka
mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang
telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah
memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang ta’at dan
berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu
Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada
lagi.
Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya
perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba
adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak
pula menghendakinya. Inilah madzhab *mu’tazilah*.
Kebalikan dari Qodariyyah adalah kelompok yang berlebihan dalam menetapkan
takdir sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan *
ikhtiyar* (usaha) sama sekali. Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu
dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan
*Jabariyyah* .

Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana
ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang
artinya),”*(**yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus.** **Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.*” (QS. At Takwir [81] :
28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua
kelompok di atas. Pada ayat,“*(**yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau
menempuh jalan yang lurus*” merupakan bantahan untuk *jabariyyah* karena
pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi
manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat
selanjutnya,”*Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”* merupakan bantahan untuk *
qodariyyah* yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan
diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini
perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan kehendak
hamba dengan kehendak-Nya.

*Keyakinan yang Benar dalam Mengimani Takdir*
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran
dan kerusakan terjadi dengan *ketetapan Allah* karena tidak ada pencipta
selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk adalah
termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia
kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.

As Safariny mengatakan, ”Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu
(salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan
kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku
perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai
pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),”*Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah*” (QS. At
Takwir [81] : 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak hamba dan
Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan
kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.”
* *
*Jangan Hanya Bersandar pada Takdir Allah*
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka
bahwa seseorang yang mengimani takdir itu *hanya pasrah tanpa melakukan
sebab sama sekali*. Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya
berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan
sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia
mengatakan,”Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”.
Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di
samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang
kita bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita
mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan
bersedih karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh
karena itu, Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* bersabda,”*Bersemangatlah
dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan
janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata:
‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’,
tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan
oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki- Nya) karena
ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.*” (HR. Muslim)
* *
*Buah dari Beriman kepada Takdir*
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati
menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang
yang mengetahui bahwa musibah itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa
hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, ”Engkau tidak
dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik
maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan
menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan
menimpamu. Saya mendengar Rasulullah *shallallahu ‘alaihi wa sallam*bersabda,”
*Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman
seperti ini, maka dia akan masuk neraka*.” (*Shohih*. Lihat *Silsilah Ash
Shohihah* no. 2439)

Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan
menyikapi segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda
dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang
tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita
dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang
merupakan takdir Allah.

Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang
mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta
perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami
memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami
adalah baik. *Amin Ya Mujibbad Da’awat*.

[Sumber rujukan utama : [1] *Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod*, Syaikh Fauzan
Al Fauzan, [2] *Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah* , Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin]

***

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar